Pemilihan umum kepala daerah
(pilkada) di Sumatera Utara (Sumut) tinggal menunggu hari. Masing-masing
pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang dibantu oleh tim sukses
atau tim pemenangan beserta relawannnya tentu selama ini sudah berusaha
menarik simpati masyarakat Sumut. Dengan menebar janji-janji manis
melalui berbagai media, mereka berharap bisa menjaring suara masyarakat
sebanyak-banyaknya.
Di sisi lain, masyarakat juga
berharap melalui pilkada tahun ini bisa menghadirkan pemimpin yang
bersih, berintegritas, dan bisa merangkul semua golongan tanpa memandang
bulu. Intinya masyarakat menginginkan perubahan. Oleh sebab itu, mereka
menanti pemerintahan yang bersih dari praktik korupsi kolusi dan
nepotisme (KKN), yang selama ini masih kental.
Kentalnya praktik korupsi di
Sumut sudah bukan rahasia lagi. Masyarakat sudah mengalaminya langsung
misalnya dalam pengurusan kartu tanda penduduk (KTP) dan izin mendirikan
bangunan (IMB). Kemudian semakin jelas ketika beberapa kepala daerah di
Sumut (termasuk mantan gubernur Sumut) berhadapan dengan hukum karena
korupsi. Makanya, tidak mengherankan ketika Sumut beberapa waktu lalu
dinobatkan sebagai daerah terkorup di Indonesia.
Bagaimanapun juga,
masyarakatlah yang menjadi korban akibat praktik korupsi tersebut.
Tingginya angka kemiskinan di Sumut tidak terlepas dari dampak buruk
korupsi. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2011,
warga miskin di Sumut mencapai 1,42 juta jiwa atau 10,83 persen dari
total jumlah penduduk. Bagaimana tidak, harga barang semakin mahal dan
upah buruh murah karena perusahaan harus membayar “suap” sejak masa
perizinan hingga produksi; bantuan tidak sampai ke tangan masayarakat
karena sudah “disunat” dari atas; petani semakin terjepit karena harga
faktor produksi semakin tinggi; kebijakan politik tidak merakyat karena
pejabat dipilih berdasarkan politik uang.
Meskipun demikian, tidak
sedikit masyarakat Sumut yang pesimis akan hadirnya perubahan. Bahkan
banyak juga yang apatis dengan semua ini. Bukan karena mereka tak
mengharapkan perubahan. Hal ini bisa terjadi karena mereka melihat
kelima pasangan calon pemimpin Sumut tersebut adalah orang-orang lama.
Bagi mereka, orang-orang lama ini adalah penjaga status quo
yang lebih berpihak kepada kepentingan pemilik modal. Barangkali mereka
memilih untuk tidak memilih atau dengan kata lain golongan putih
(golput).
Jika kita melihat tahun-tahun
sebelumnya, tingkat partisipasi politik dalam pesta demokrasi di Sumut
mengalami penurunan. Pada pemilihan gubernur Sumut 2008 misalnya,
partisipasi pemilih hanya mencapai 63,1 persen. Bisa jadi dalam pilkada
tahun ini juga, partisipasi pemilih tetap rendah.
Selain itu, tidak bisa
dipungkiri bahwa pilihan politik masyarakat Sumut dalam pilkada masih
kuat dipengaruhi oleh latar belakang primordial (etnis dan agama). Hal
ini bisa terlihat dari pilkada-pilkada sebelumnya. Masyarakat memilih
salah satu pasangan calon karena lebih mempertimbangkan latar belakang
suku dan agamanya daripada parpol pendukungnya.
Pilihan masyarakat berdasarkan
latar belakang primordial tersebut bisa tetap kental karena beberapa
hal. Pertama, partai politik tidak menjalankan fungsinya sehingga
masyarakat sulit membedakan ideologi parpol yang satu dengan yang lain.
Apalagi selama ini parpol hanya sibuk pada saat pemilihan umum (pemilu),
pilkada, kongres partai, dan kegiatan-kegiatan internal yang tidak
berhubungan dengan kepentingan masyarakat.
Kedua, calon-calon pemimpin
seringkali memanfaatkan isu primordial untuk kepentingan politiknya. Di
satu sisi, pemanfaatan isu primordial ini masih dianggap sebagai jala
yang sanggup menjaring suara masyarakat. Di sisi lain, isu primordial
ini dijadikan sebagai topeng untuk menutupi rekam jejak calon pemimpin.
Dengan demikian, faktor primordial bukan jaminan melahirkan pemimpin
yang bersih dan berintegritas.
Sumut sering dikatakan sebagai
miniaturnya Indonesia karena semua etnis terdapat di daerah ini. Adapun
komposisi penduduk Sumut berdasarkan etnis, yaitu: Jawa 33,4 %,
Tapanuli Toba 25,62 %, Mandailing 11,27 %, Nias 6,36 %, Melayu 5,86 %,
Karo 5,09 %, suku lainnya 3,29 %, Tionghoa 2,71 %, Minang 2,66 %,
Simalungun 2,04 %, Aceh 0,97 %, dan Pakpak 0,73 % (Kompas, 31/1/2012).
Selama ini, masyarakat Sumut bisa dikatakan hidup rukun di tengah-tengah
perbedaan. Inilah yang perlu dijaga. Jangan sampai gara-gara
kepentingan segelintir elite, terjadi konflik yang merugikan semua
pihak.
Pemanfaatan isu primordial
khususnya agama dalam pilkada (sadar atau tidak) bisa menjadi bom waktu
yang melahirkan konflik besar. Oleh sebab itu, masyarakat Sumut harus
cerdas dalam berpolitik. Janganlah mau jadi domba yang bisa digiring
dengan tali primordial bahkan dengan uang demi kepentingan politik
segelintir elite. Rekam jejak dan visi calon pemimpin lebih penting dari
pada asal suku serta agamanya.
Terakhir, siapa pun pemimpin yang
terpilih, tidak ada jaminan perubahan di Sumut tanpa partisipasi
masyarakat. Partisipasi politik masyarakat tidak boleh hanya berhenti
pada saat pilkada. Masyarakat harus ikut mendukung kinerja pemimpin
terpilih nantinya dan juga mengawasinya. Demi kesejahteraan masyarakat
Sumut.( sumber : kompas.com )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar